Madzhab Kopi : Politik & Agama Dalam Secangkir Kopi

   -Baju Crem Cak Taufik, dan Jaket Hitam Saya sendiri-.

Hai sahabat Bang Sales Adventure 🙌. Lama rasanya Bang Sales tak menyapa sahabat sekalian di blog perjalanan Bang Sales belakangan terakhir ini. Tentu karena sejumlah kesibukan dengan rutinitas baru : kehidupan rumah tangga yang bisa dibilang baru seumuran jagung, alhamdulillah Bang Sales teregistrasi secara sah administrasi di KUA dan KK menjadi Kepala Rumah Tangga. Hehehe

Kali ini Bang Sales Adventure ingin berbagi cerita tentang perjalanan Bang Sales bersama kawan lawas, konco selawase jenengipun Cak Taufik. Nah Cak Taufik ini adalah blogger travel & kuliner, sejarah dan budaya dari sebuah blog yang tentunya sudah malang-melintang di dunia maya, main² aja kesana 👉 www.gusbolang.com

Ceritanya hari ini, Minggu 4 November 2018, pagi sekali jam 6.30 saya dapat chat via WhatsApp dari Cak Taufik yang ngajakin ngopi bareng. Beliau mengajak saya ke tempat yang sedikit berbeda dari biasanya. Warkop or Cafe? Kali ini tidak. Kami sepakat ngopi di Rest Area yang super sejuk di daerah pegunungan, tepatnya di Kampung Kopi Kluncing, Kecamatan Sumberwringin Jl. Kawah Ijen.

Setibanya di lokasi kami berdua memesan kopi khas dataran tinggi pegunungan ijen, jenis Kopi Arabica. Sambil menikmati secangkir kopi hangat yang berciri khas rasa agak kecut, kami tenggelam dalam obrolan yang saat ini lagi jadi trending topic di seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Mulai dari tukang sayur sampai kalangan elit, semua merasa perlu membicarakannya. Apalagi kalo bukan tentang politik dan agama.

Sebenarnya saya nggak suka nulis atau ngobrolin soal politik & agama, karena terlalu kaku dan riskan bagi saya. Seperti yang tertulis banyak di medsos, tetiba bermunculan pengamat politik dadakan tahunan, juga ahli agama yang membahas tentang adu dalil untuk saling merasa lebih baik bin benar.

Tapi bukan madzhab saya untuk menulis dengan diksi serius membahas dua hal tersebut, tulisan ini hanya menggambarkan diskusi kecil saya dan Cak Taufik ditemani secangkir kopi hangat di dataran sejuk, kota kami yang sudah dideklarasikan sebagai Kota Republik Kopi; Bondowoso tercinta.

Lanjut, diskusi kami baru saja dimulai meski hangat cangkir kopi kami perlahan menghilang. Pandangan politik dan agama setiap orang tentu berbeda-beda. Begitupun kami berdua. Meski setiap media pemberitaan saben hari kian memanas, tentu bagi kami pandangan politik yang beda tentang alur demokrasi di tahun politik ini tidak perlu menjadikan persahabatan kami ikut memanas, apalagi dingin membeku. Wkwk

Biarkanlah pembahasan politik dan agama ini berakhir nyemplung dan tandas cukup di cangkir kopi kami masing-masing saja. Meski kopinya sudah habis, tapi hangatnya masih menjalar terasa.

Jika dianalogikan, banyak orang yang nggak suka dengan rasa kopi yang kuat dan pahit tanpa gula ini meski rasanya sama. Karena setiap penikmat memiliki cara tersendiri untuk menikmati rasa kopinya. Dan hanya orang yang paham dan semadzhab kopi saja yang tau cara menikmati itu. Hehe. Hal itu juga berlaku dengan politik dan agama.

Entah yang lain menikmati espresso, macchiato, latte, flat white, cappuccino, mochacino, doppio maupun long black. Bagi kami berdua selama kopi itu pas dengan suasana hati, kenapa ngga?

Ibarat secangkir kopi hangat yang condong bahwa talfiq diperbolehkan selama talfiq itu nggak mengubah drastis takaran espresso, susu, air atau unsur lain penyusun kopi itu, why not? Kenapa tidak?

Ngomong-ngomong, madzhab saya & Cak Taufik dalam menikmati secangkir kopi boleh dibilang sama. Madzhab kami bebas aja, karena yang dipentingkan adalah unsur dari ngopi itu sendiri. Banyak orang yang bilang ngopi padahal dia ngeteh atau ngejus, ya ngga? Dan tentang madzhab kopi ini, tentu kami ngga perlu bawa pentungan buat menertibkan perbedaan atau semacam adu dalil, karena banyak juga yang bikin nama warung kopi padahal dia juga jual teh, jus, bahkan nasi telur ala burjo yang kian menjamur.

Dan kesimpulannya dalam diskusi kami adalah Madzhab Ngopi kami nggak maksa kok, daripada ikut-ikut tegang karena nggak kuat minum kopi, bolehlah gabung dengan minum teh atau jus. Yuk, mariiiii tenangkan hati kita sambil ngopi, nyusu, ataupun ngejus sekalian, agar  supaya yang saat ini marak dibahas tentang Politik & Agama jangan sampai jadi perpecahan, propaganda apalagi adu domba. Karena itu semua kembali pada individu masing-masing. Karena, setiap warga negara yang sudah ditentukan memiliki hak konstitusional yang sama dalam berdemokrasi. Begitu pula dalam hal agama setiap individu atau golongan sudah dengan dalil yang mereka yakini, tidak perlu saling menghujat antar madzhab lain. Seperti apapun dan bagaimanapun perbedaan pandangan kita tentang politik & agama, kita masih tetap dalam satu rumah yang wajib kita jaga keutuhannnya. Ya, tegaknya selalu rumah kita. Indonesia.

Mendung yang mulai tertata diatas pegunungan dataran tinggi Ijen siang itu mulai berada tepat diatas meja kami. Tanda bahwa jika tak segera bergegas pergi, pasti kami akan basah kuyup. Kamipun mengakhiri diskusi, dan mulai menjauh dari Kampung Kopi Kluncing kembali kerumah masing-masing. Semoga tulisan saya ini sedikitnya membawa manfaat bagi kita semua.

Sampai jumpa dilain waktu, terimakasih sudah berkenan mampir dan membaca blog Bang Sales. 🙏

You May Also Like

0 komentar